Senin, 14 September 2009
SELAMATKAN HUTAN INDONESIA
Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan hujan tropis terluas di dunia. Menurut Menteri Kehutanan M.S. Ka’ban, luas hutan Indonesia mencapai 136 juta Ha, pada tahun 2009. Luas hutan yang cukup besar ini menjadi harapan bagi negara-negara lain, termasuk negara maju dalam menangani (mengurangi) emisi polutant, baik yang dihasilkan oleh negara yang berangkutan, maupun bagi negara lain.
Permasalahannya, dari jumlah tersebut, sebanyak 59 juta hektar hutan mengalami kerusakan. Kerusakan ini disebabkan oleh berbagai kegiatan, seperti logging (baik yang ilegal, maupun yang resmi), perubahan peruntukan, seperti untuk perkebunan, perladangan dan perumahan, serta pertambangan. Laju kerusakan hutan itu sendiri sepanjang tahun terus mengalami peningkatan. Jika pada tahun 1980, tingkat kerusakan sebanyak 1 juta hektar/tahun, pada tahun 1990 mencapai 1,7 juta hektar/tahuan. Dalam kurun waktu 2000 hingga 2005, tingkat kerusakan mencapai 2 juta ha/tahun.
Salah satu penyebab berkurangnya luas hutan di Indonesia adalah konversi peruntukan ke bidang perkebunan, khususnya kelapa sawit. Sepanjang tahun luas kelapa sawit terus mengalami peningkatan. Jika pada pada tahun 2000, luas kelapa sawit hanya 4 juta hektar, pada tahun 2009 diperkirakan akan mencapai 7 juta hektar lebih. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan semakin langkanya minyak fosil dunia.
Pemerintah sendiri sepertinya tidak berdaya dalam menahan laju kerusakan hutan. Berbagai peraturan dikeluarkan untuk menahan kerusakan hutan. Namun demikian jumlah kerusakan hutan diperkirakan akan terus bertambah.
Salah satu harapan untuk menangani laju kerusakan hutan adalah diterapkannya perdagangan carbon internasional. Negara-negara yang mengeluarkan emisi (emiten) diharapkan dapat memberikan dana kepada negara-negara yang masih memiliki hutan. Sayangnya meski Indonesia adalah negara terluas hutan hujan tropisnya, namun hingga saat ini Indonesia belum menerima dana dari negara-negara emiten, sebagai kompensasi atas hutan yang dimiliki Indonesia. Dikhawakirkan jika tidak ada dana untuk menangani kerusakan hutan, maka kerusakan akan terus terjadi sepanjang tahun.
PT. Global Green adalah salah satu perusahaan swasta nasional di Indonesia yang berkompeten terhadap masalah kerusakan hutan di Indonesia. Pada saat ini PT. Global Green sedang mengajukan izin kepada Pemerintah Indonesia cq Departemen Kehutanan untuk mengelola hutan di kawasan Kepulauan Mentawai dan juga di Kalimantan Timur. Dari hasil analisa, jumlah karbon yang dapat diperdagangkan, untuk Siberut mencapai 2 juta ton per tahun, sedangkan di Kalimantan mencapai 3 juta ton pert tahun. Hingga saat ini kami masih terbuka untuk menjalin kerjasama kepada semua pihak, baik domestik maupun internasional untuk perdagangan Carbon, dengan berbagai mekanisme.
NILAI ENDEMIK PULAU SIBERUT
Di Pulau Siberut, 65% mamalia dan 15% fauna Siberut adalah endemik. Hal ini , dengan luasan yang terbatas, menjadikan pulau Siberut unik di dunia (WWF, 1980). Mamalia Pulau Siberut, khususnya primate, adalah fenomenal (Kristijono, 1997). Dari 29 mamalia yang tercatat di Pulau Siberut, 21 spesies endemic. Flagship spesies yang paling dicatat di antara mamalia endemic adlah 4 jenis primate, yaitu, Bilou (Hylobates klossii), Joja (Presbytis potenziani), Simakobu (Simias concolor) and Bokkoi (Macaca pagensis).
Sebagai tambahan untuk mamalia laut, termasuk dugong telah ditemukan di Siberut. Dari 134 spesies burung yang ditemukan di Siberut, 19 spesies endemic pada beberapa level taksonomi. 27 famili burung yang ditemukan di Sumatra tidak ditemukan di Siberut, membuktikan Siberut memiliki ekosistem kepulauan yang sangat berbeda dengan Sumatra. Karena isolasi yang panjang, sebagian besar spesies tetap memiliki karakter primitive, dan membuatnya menjadi penting bagi penelitian evolusi. Keempat primate membuat Siberut unik, karena tidak ada tempat lain di dunia yang memiliki kepadatan primate endemic per unit area seperti yang dimiliki Mentawai (WWF 1980). Primata Siberut tergantung pada hutan primer untuk ketahanan mereka. Tiga dari empat spesies adalah arboreal dan akan jarang atau tidak pernah tinggal di tanah. Bilou menghabiskan 66,66% waktunya di hutan primer, Joja 53,35%, Simakobu 50,02%, dan Bokkoi 53,20% (LIPI 1995). Dengan ketergantungan terhadap hutan primer, terutama hutan Dipterokarp, maka jenis Bilou merupakan primata yang sangat rentan terhadap perubahan tataguna lahan, misalnya penebangan hutan primer, baik untuk tujuan produksi kehutanan maupun produksi-produksi lainya (LIPI 1997).
Beberapa seri sensus yang dilakukan oleh D. Whittaker telah menunjukkan bahwa kepadatan populasi Kloss gibbons (Hylobates klossii) di Siberut Utara 2 kali lebih tinggi dari pada di taman nasional, dan 4 kali lebih tinggi daripada di pulau Sipora dan Pagai. Juga telah diketahui bahwa populasi primata dan habitatnya sangat terganggu oleh kegiatan pembalakan kayu di pulau Sipora dan Pagai.(Fuentes & Olson, 1995). Keempat primate tersebut juga masuk dalam daftar merah IUCN (IUCN Red List). Simias concolor and Presbytis potenziani masuk daftar sebagai spesies langka (endangered species), dan terancam punah. Oleh karena kedua spesies tersebut arboreal, logging skala besar akan mengurangi habitat mereka, oleh karena itu membahayakan tingkat ketahanan mereka. Simias concolor masuk daftar sebagai salah satu dari 25 primata paling terancam di dunia (Mittermeier et al 2005). Analisis terhadap tengkorak Simias concolor, yang secara tradisional dikumpulkan di rumah-rumah menunjukkan bahwa Simias concolor betina lebih rentan untuk diburu karena mereka lebih lambat daripada jantan (Kawamura 1977). Hal ini akan mempengaruhi reproduksi dari spesies tersebut, juga karena Simias concolor tinggal dalam grup keluarga yang kecil, dan menghadapi kesulitan untuk unit reproduksi keluarga kembali sekali sudah terganggu. Areal PT.SSS di Siberut Utara diduga masih memiliki 40% dari seluruh populasi Simias concolor (Abegg 2004).
Sebagai tambahan untuk mamalia laut, termasuk dugong telah ditemukan di Siberut. Dari 134 spesies burung yang ditemukan di Siberut, 19 spesies endemic pada beberapa level taksonomi. 27 famili burung yang ditemukan di Sumatra tidak ditemukan di Siberut, membuktikan Siberut memiliki ekosistem kepulauan yang sangat berbeda dengan Sumatra. Karena isolasi yang panjang, sebagian besar spesies tetap memiliki karakter primitive, dan membuatnya menjadi penting bagi penelitian evolusi. Keempat primate membuat Siberut unik, karena tidak ada tempat lain di dunia yang memiliki kepadatan primate endemic per unit area seperti yang dimiliki Mentawai (WWF 1980). Primata Siberut tergantung pada hutan primer untuk ketahanan mereka. Tiga dari empat spesies adalah arboreal dan akan jarang atau tidak pernah tinggal di tanah. Bilou menghabiskan 66,66% waktunya di hutan primer, Joja 53,35%, Simakobu 50,02%, dan Bokkoi 53,20% (LIPI 1995). Dengan ketergantungan terhadap hutan primer, terutama hutan Dipterokarp, maka jenis Bilou merupakan primata yang sangat rentan terhadap perubahan tataguna lahan, misalnya penebangan hutan primer, baik untuk tujuan produksi kehutanan maupun produksi-produksi lainya (LIPI 1997).
Beberapa seri sensus yang dilakukan oleh D. Whittaker telah menunjukkan bahwa kepadatan populasi Kloss gibbons (Hylobates klossii) di Siberut Utara 2 kali lebih tinggi dari pada di taman nasional, dan 4 kali lebih tinggi daripada di pulau Sipora dan Pagai. Juga telah diketahui bahwa populasi primata dan habitatnya sangat terganggu oleh kegiatan pembalakan kayu di pulau Sipora dan Pagai.(Fuentes & Olson, 1995). Keempat primate tersebut juga masuk dalam daftar merah IUCN (IUCN Red List). Simias concolor and Presbytis potenziani masuk daftar sebagai spesies langka (endangered species), dan terancam punah. Oleh karena kedua spesies tersebut arboreal, logging skala besar akan mengurangi habitat mereka, oleh karena itu membahayakan tingkat ketahanan mereka. Simias concolor masuk daftar sebagai salah satu dari 25 primata paling terancam di dunia (Mittermeier et al 2005). Analisis terhadap tengkorak Simias concolor, yang secara tradisional dikumpulkan di rumah-rumah menunjukkan bahwa Simias concolor betina lebih rentan untuk diburu karena mereka lebih lambat daripada jantan (Kawamura 1977). Hal ini akan mempengaruhi reproduksi dari spesies tersebut, juga karena Simias concolor tinggal dalam grup keluarga yang kecil, dan menghadapi kesulitan untuk unit reproduksi keluarga kembali sekali sudah terganggu. Areal PT.SSS di Siberut Utara diduga masih memiliki 40% dari seluruh populasi Simias concolor (Abegg 2004).
Langganan:
Postingan (Atom)